Lebaran dan “2”

Jul 2, 2017

Lebaran tahun ini masih sama seperti lebaran di tahun-tahun sebelumnya. Setelah sungkem sama orang tua, saya ke pergi ke lapangan untuk sholat ied. Setelahnya, ada acara kumpul keluarga besar dari pihak bapak di rumah nenek yang kebetulan hanya berjarak beberapa langkah dari rumah orang tua saya. Semuanya masih sama. Puluhan anggota keluarga berkumpul untuk menikmati hidangan bersama-sama. Untuk saya, semua juga masih sama. Belum ada seseorang yang bisa saya kenalkan ke keluarga besar sebagai calon anggota keluarga baru.

Dua hari setelah sholat ied, seluruh warga satu dusun yang terdiri atas 5 RT berkumpul di masjid dusun untuk halal bihalal. Tradisi ini sudah ada bahkan sejak saya masih TK. Tanpa ada undangan atau sejenisnya, semua warga kompak datang ke masjid setiap tahun. Saya pun hampir selalu ikut acara ini. Tujuan saya biasanya adalah (selain silaturahmi, tentu saja) untuk melihat bagaimana perkembangan orang-orang di dusun saya selama ini. Bagi saya, acara halal bihalal ini juga menjadi ajang “reuni” teman main masa kecil. Walaupun obrolan sudah agak canggung dan kaku karna temanya sudah tak sekonyol dulu.

Setelah rangkaian acara di rumah beres, baru saya ke Salatiga untuk bersilaturahmi dengan keluarga dari pihak ibu. Saya pun tak pernah melewatkan lebaran tanpa ke Salatiga meskipun sejak dua tahun lalu nenek sudah tidak ada. Sedangkan kakek saya sudah lebih dulu berpulang sejak saya masih kuliah.

Begitulah. Rutinitas lebaran saya dari tahun ke tahun tak pernah berubah. Sama.

Jikapun ada yang berbeda mungkin adalah durasi break yang saya ambil. Biasanya, saya hanya akan mengambil break selama maksimal 7 hari. Tahun ini, hampir 10 hari saya berada di rumah. Untuk mengisi kekosongan saya sengaja membawa satu buah novel lama yang sudah selesai saya baca namun ingin saya baca kembali. Novel itu saya beli sekitar tahun 2012. Judulnya “2”, sebuah novel karya Donny Dirgantoro, salah satu novelis yang saya sukai karya-karyanya

“2” adalah novel kedua dari Donny Dirgantoro. Saya juga sempat punya novel pertamanya yang berjudul “5cm” tapi sekarang sudah berpindah tangan.

Cerita yang diaplikasikan ke “2” sebenanya sangat sederhana. Tentang seorang anak perempuan dengan penyakit obesitas langka. Usianya diprediksi hanya akan sampai angka 20-an. Penyakitnya mungkin terdengar sederhana karna semua orang tahu apa obat paling mujarab untuk orang yang kelebihan lemak: olahraga dan pola makan teratur. Masalahnya, — seperti yang saya bilang tadi — penyakit yang diderita oleh Gusni adalah penyakit obesitas langka. Serajin apapun ia berolahraga, berat badannya tidak pernah turun, bahkan bertambah seiring bertambahnya usia. Itulah yang membut hidupnya diprediksi tak akan menyetuh angka 30. Banyaknya lemak yang ada di tubuhnya membuat berbagai penyakit saling berdatangan. Pembuluh darah yang menyempit, tekanan darah yang tiba-tiba naik dll.

Beruntung bagi Gusni. Ia hidup dengan keluarga yang begitu menyayanginya. Papa, Mama dan seorang kakak yang selalu ada untuk dia, dalam keadaan apapun. Juga dua orang sahabat dan seorang kekasih yang tak kalah sayangnya. Karna alasan itulah Gusni memutuskan untuk tidak menyerah dengan penyakitnya. Ia memutuskan untuk berjuang melawan penyakitnya. Demi orang-orang yang ia sayanginya dan, tentu saja untuk dirinya sendiri.

Dan itulah impian Gusni. Impian untuk terus hidup dan membuat orang-orang yang ia sayang merasa bangga. Ia ingin orang-orang di sekitarnya menjadi saksi atas perjuangannya. Seandainya Sang Pemilik Waktu menakdirkan bahwa ia harus pergi lebih dulu, setidaknya ia pergi dalam keadaan berjuang, bukan pasrah dan menyerah.

Selama membaca “2”, emosi haru saya sering membuncah. Silakan panggil saya cengeng atau apapun. Tapi, butiran bening terkadang bisa saya rasakan muncul di sudut mata. Bersamaan dengan hidung yang kembang kempis menahan haru. “2” bagi saya adalah novel yang inspiratif. Sama seperti novel Donny Dirgantoro sebelumnya. Saya memang penggemar novel dengan genre seperti ini. Selain “2” dan “5cm” ada juga “9 Matahari” dan “23 Epicentrum” karangan Adenita Priambodo yang genre-nya mirip-mirip.

Di tengan naik turunnya roda hidup, novel-novel semacam itu terkadang membuat saya kembali tersadar untuk terus berjuang mengejar apa yang telah saya impikan.

Kalau boleh jujur, akhir-akhir ini saya merasa bahwa hidup ini terasa tidak adil. Sudah cukup lama saya berusaha memperjuangkan impian dan hingga saat ini belum ada tanda bahwa impian itu akan menjadi kenyataan. Tapi, sekali lagi “2” telah membuka mata saya kembali. Bahwa hidup ini memang tidak sempurna karna hanya seorang pengecut yang mengharapkan hidup yang sempurna. Mengenai impian yang belum terwujud, mungkin itu hanya masalah waktu dan keberuntungan. Dan saya yakin bahwa waktu akan memihak kepada orang-orang yang berjuang bersama do’a dan impiannya. Dan keberuntungan akan datang sebagai jawaban atas doa-doa yang terlantun.

Saya juga semakin sadar bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai apapun selagi kita masih diberi nyawa. Saya tak masalah jika memang harus memulai semuanya dari nol lagi. Karna saya yakin bahwa hidup dengan impian akan membuat kita “menjadi manusia”.

Iya, saya tahu bahwa “2” hanyalah cerita fiktif. Juga dengan novel-novel serupa. Tapi, selama ia bisa memberi energi positif, why not?

Bagi saya, cerita fiktif yang inspiratif dari sebuah novel lebih masuk akal dan layak dikonsumsi daripada omongan-omongan asal njeplak para motivator.

Kembali soal lebaran. Bagian terindah dari lebaran tahun ini barangkali adalah reuni kecil-kecilan saya dan kelima teman satu gank sewaktu SMP dulu. 12 tahun telah berlalu hingga waktu akhirnya mempertemukan kami kembali. Ingatan kami kembali terbang di masa ketika kami menjadikan nama-nama orang tua sebagai bahan candaan. Memang agak kurang ajar. Tapi itulah kenangan yang kami ciptakan semasa SMP dulu. Dan sore itu, di hari ketiga setelah lebaran, sesekali kita masih mengenang candaan-candaan kurang ajar itu.