Malam ini saya harusnya menyelesaikan sebuah review untuk aplikasi Taskade di bettertechtips.com. Tapi karma mood saya sedang kurang bagus untuk menyelesaikan review itu, saya putuskan untuk curcol di sini saja dulu. Ya begitulah salah satu keasyikan punya project sendiri. Bisa break kapan saja tanpa perlu takut dimarahin atasan. Kalau client menagih artikelnya ya tinggal bilang “please allow some time. We are working on it” :).
Hari minggu lalu saya mendaki gunung Lawu lewat jalur Singolangu. Sebuah jalur pendakian lama yang baru saja dibuka kembali tahun lalu. Ini adalah pendakian pertama saya di tahun 2020 dan mungkin juga yang terakhir (terakhir untuk tahun ini maksudnya). Saya mendaki bersama 9 teman dari Jawa Timur. Tiga di antaranya adalah Rifqy (yang kini sudah beristri), Eko, dan mas Rendra. Sebelum pendakian hari Minggu lalu, saya sudah beberapa kali mendaki bersama mereka bertiga. Kami juga punya sebuah grup WA untuk komunikasi sehari-hari (ada beberapa teman lain juga di grup)
Saya pertama kali mendaki gunung tahun 2013. Waktu itu, saya mendaki gunung Merapi hanya berdua dengan seorang teman, Zaki namanya. Tahun itu pendakian masih belum seramai sekarang. Saya masih ingat betul. Hari itu cuma ada dua rombongan yang mendaki Merapi yakni rombongan saya (yang cuma dua orang) serta rombongan lain dari Garut (juga hanya dua orang). Tahun itu adalah tahun yang cukup berat bagi saya. Masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi. Sudah dipusingkan dengan skripsi, ditinggal orang yang disayang pula. Double misery.
Kembali ke Lawu.
Saya, Eko, dan Rifqy berjalan paling belakang. Dalam istilah pendakian, tim yang berjalan paling belakang disebut sweeper. Tugasnya memastikan tidak ada anggota tim yang tertinggal di belakang. Tapi kami berjalan paling belakang bukan sebagai tim sweeper sungguhan. Melainkan karna kami memang ingin santai saja. Lagipula, Rifqy hari itu sedang ada misi untuk menandai titik-titik penting (seperti pos dan situs-situs) dengan GPS nya. Alasan lain kenapa kami berjalan di belakang apalagi kalau bukan fisik (sebenarnya ini adalah alasan utamanya hehe).
Di perjalanan, kami sempat berpapasan dengan rombongan bapak-bapak yang sedang melakukan perjalanan turun. Kami juga sempat menyalip rombongan bapak-bapak lain yang beranggotakan tiga orang. Salah satu bapak di rombongan kedua ini mengajak serta kedua anaknya yang kira-kira usia SMA atau mahasiwa semester awal.
Melihat kedua rombongan bapak-bapak tadi, saya sempat membayangkan tentang apa yang terjadi di masa depan ketika saya seusia mereka. Sebuah pertanyaan pun muncul. “ketika seusia mereka kelak, apakah saya masih bisa mendaki bersama teman-teman seperti mereka”.
Sejak pertama kali mendaki gunung di tahun 2013, saya memang menjadikan kegiatan ini sebagai sebuah hobi sekaligus sebagai media belajar dan bahan refleksi. Pertemuan dengan teman-teman yang belakangan sering mendaki bersama (termasuk gunung Lawu via Singolangu) saya anggap sebagai sebuah anugrah. Walau entah apakah kami masih akan tetap bisa mendaki bersama di masa-masa mendatang, seperti yang saya pertanyakan saat bertemu dua rombongan bapak-bapak di jalur Singolangu hari Minggu lalu.
Semoga jawabannya adalah iya.
Yah memang begitulah hidup. Pertambahan usia selalu berbanding lurus dengan pertambahan tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap keluarga, tanggung jawab terhadap pekerjaan, tanggung jawab terhadap masyarakat, serta tanggung jawab-tanggung jawab lain. Di masa datang, tak akan pernah ada jaminan jawaban “gas-cus-kuy” ketika kita mengajak teman kita sekarang untuk main bersama atau melakukan perjalanan bersama. Jika sudah begini, kita cuma bisa maklum.
Apapun yang terjadi di masa depan, semoga itu adalah yang baik-baik.
Oh iya, saya menulis artikel ini ditemani lagu Bertaut dari Nadin Amizah. Seorang penyanyi muda berbakat dengan suara yang begitu empuk dan sejuk. Suaranya begitu lembut nan sopan masuk ke telinga. Hari ini, saya sudah beberapa kali memutar ulang lagu ini di Spotify.